˄

29.08.2019
TANTANGAN BELIA (PEMUDA) MABIMS ERA 4.0



Oleh: Thobib Al-Asyhar

 

Era revolusi industri 4.0 telah memunculkan kekhawatiran sebagian pihak. Sementara sebagian yang lain justru menatapnya dengan penuh optimistik. Semua ini kehidupan yang ditopang oleh kecanggihan teknologi informasi dan terhubung dengan internet akan memudahkan semua urusan.

Bagi pihak yang mengkhawatirkannya lebih karena melihat posisi agama sebagai "way of life". Mereka seperti kurang siap menghadapi perubahan yang sangat radikal (radic), khususnya menyangkut aspek-aspek keagamaan yang mendasar.

Kita menyadari bahwa posisi agama memiliki peran strategis dalam kehidupan modern. Nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi panduan bagi sikap dan perilaku manusia, dengan kecenderungan manusia yang semakin rasionalistik, positivistik, dan empiristik memunculkan kekhawatiran tergerusnya posisi agama dalam kehidupan modern.

Kekhawatiran ini sebenarnya telah lama ada sejak revolusi industri 1.0 dimana banyak filosof (ilmuan) yang mengkritik habis posisi dan peran agama. Bagi mereka, agama dianggap sebagai faktor penghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan sains. Agama dituduh sebagai pemicu meningkatnya jumlah kaum fatalis dan irrasionalis yang dapat menganggu obyektifitas ilmu pengetahuan dan sains.

Filosof beken bernama Friedrich Nietzsche melontarkan kritik pedas terhadap eksistensi agama dengan ungkapan "God is dead" (Tuhan telah mati). Ini adalah kritik paling menyakitkan bagi pemeluk agama karena menganggap Tuhan tidak memiliki fungsi dalam kontribusi hidup manusia.

Demikian halnya Sigmund Freud, seorang psikolog Jerman pernah menyindir bahwa bukan Tuhan yang telah menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan "tuhan-tuhan". Tuhan-tuhan yang dimaksud Freud adalah ilusi-ilusi manusia, sehingga ia menyebut orang beragama sebagai pengidap neurosis.

Kekhawatiran dan tuduhan para filosof Barat tersebut ternyata masih terus bergulir hingga kini seiring dengan kondisi dunia yang semakin terbuka dan modern, dimana kecanggihan teknologi terus menggeliat dan merangsek ke dalam sudut-sudut kehidupan. Berkembangnya arus rasionalisme menjadikan posisi agama semakin terpinggirkan. Apalagi jika agama digunakan oleh sebagian penganutnya untuk tujuan-tujuan ekstremisme dan klaim-klaim sepihak di tengah komunitas yang majemuk.

Belakangan ini ada semacam gerakan atau kecenderungan anak-anak muda (belia) mulai menjauh dari agama secara formal. Perkembangan teknologi yang semakin modern telah membuat mereka mengalami kekeringan spiritual. Muncul banyak persoala-persoalan psikologis, seperti stres, depressi, dan bunuh diri karena tekanan hidup materialisme dan hedonisme. Akibat dari itu lalu manusia modern kehilangan arah hidup dan mencoba mencari (searching) The Other (Tuhan) sebagai sandaran hidup melalui jalan-jalan spiritual yang simpel, efektif, efiesien, dan cepat.

Namun, "kembalinya" kesadaran mereka bukan kepada agama-agama dengan segala perangkatnya, tetapi pada sistem keyakinan kepada Tuhan murni. Mereka merasa cukup meyakini bahwa Tuhan itu ada, bukan pada agama (religion). Itulah yang kemudian disebut "agnostisisme".

Kita semua sadar sedang berada dalam periode zaman ketika popularitas atheisme telah runtuh bersamaan dengan robohnya komunisme. Pada masa ini paham agnostisisme menjadi pilihan yang dianggap paling rasional dan sangat diminati kaum modern.

Agnostisisme telah memasuki area gaya hidup (lifestyle). Orang akan merasa "lebih intelektual" bila ia mengaku sebagai agnostik. Sementara penganut atheisme sekarang justru dinilai tidak menarik lagi. 

Upaya Richard Dawkins yang dicap sebagai pemberontak pada kaum atheis pun tak lagi menarik hati kaum muda. Intinya, mengaku atheis sama ketinggalan zamannya dengan mengaku marxist. Dari sudut pandang lifestyle kaum milenial, paham atheisme dinilai a-historis, sudah tidak keren dan relevan lagi.

Apa sebenarnya yang membuat agnostisisme ini mewabah pada generasi milenial? Kaum milenial yang memiliki watak instan, cepat, dan kreatif membutuhkan saluran spiritual yang mengarah pada inti hubungan diri dengan Tuhan. Agama dengan segala tools-nya dianggap tidak/kurang efektif dan efisien lagi.

Bagi mereka, meyakini Tuhan dengan nilai-nilai transendensinya bisa menjadikan diri lebih baik tanpa harus melalui rangkaian ritual yang rumit. Mereka merasa lebih tenang dan bisa pribadi utuh tanpa terkungkung oleh aturan-aturan formil.

Inilah kenapa mereka lebih memilih menjadi agnostik tanpa menjadi penganut sebuah agama. Mereka merasa lebih nyaman saat mampu memiliki budi pekerti yang baik, memiliki toleransi tinggi, empati kepada sesama, lebih sabar, pemaaf, dan lain-lain. Mereka lebih berfokus ke dalam diri yang baik tanpa harus berbaju mentereng bernama agama yang belum memastikan membentuk individu yang baik.

 

Tantangan Belia MABIMS

Para belia (pemuda) yang tinggal di negara-negara MABIMS tentu memiliki tantangan yang tidak kecil di era ini. Wilayah negara-negara MABIMS yang memiliki karakteristik khas harus menyiapkan diri dengan baik. Beberapa karakteristik belia MABIMS yang akan mendapat tantangan besar dapat diuraiakan sebagai berikut:

Pertama, negara-negara MABIMS berada pada wilayah serumpun yang memiliki kekhasan budaya, meliputi: Islam, melayu, dan nusantara. Ketiganya telah terbangun dan bersenyawa bersamaan dengan sejarah panjang nusantara, dimana Islam-Melayu tersebar melalui proses dialektika budaya tanpa penaklukan. Sementara nusantara adalah cakupan wilayah yang memiliki kesamaan tradisi, budaya, dan karakteristik wilayah, sehingga terdapat ikatan yang sangat kuat.

Namun, kekhasan tersebut saat ini benar-benar mendapat ancaman serius dari agresi budaya luar dalam bentuk lifestyle pop, baik Barat maupun Asia, khususnya budaya Korea, Jepang, dan China. Budaya luar ini sesungguhnya sudah lama "menyerang" dan kita terus berusaha untuk bertahan. Pertanyaannya, sampai kapan kita mampu menjaga ini dengan baik? Apalagi lifestyle Jepang, China dan Korea, selain Barat telah lama menjadi trendsetter di kawasan ini yang mencoba menguasai "pasar" gaya hidup. Kita bisa lihat acara-acara TV telah mereka "kuasai" sehingga mempengaruhi kekhasan budaya MABIMS.

Tentu para belia (pemuda) MABIMS yang secara geografis berkedudukan di negara-negara yang berdekatan dengan Korea, Jepang, dan China telah dan akan terus dijadikan "pasar" lifestyle untuk kemudian dibawa pada ruang kebudayaan mereka yang lepas dari nilai-nilai budaya nusantara, Islam-melayu. Di sinilah kenapa para belia MABIMS harus terus meningkatkan konsolidasi budaya, menjalin kerjasama bidang-bidang keagamaan dan pendidikan agar kekhasannya dapat dilestarikan dan dikembangkan.

Kedua, dari sisi letak geografis dan cakupan pasar ekonomi, wilayah negara-negara MABIMS sangat potensial dengan agresi pasar ekonomi bebas. Apalagi saat ini negara-negara ASEAN sendiri telah menerapkan perdagangan bebas dan bebas visa kunjungan, yang artinya dalam jangka waktu tertentu negara-negara MABIMS tidak memiliki benteng pertahanan budaya atas pengaruh kepentingan ekonomi.

Agresifitas ekonomi kawasan telah menjadikan negara-negara MABIMS berada pada posisi juru kunci. Jika bertahan dengan pola pendekatan tradisional nusantara, maka di era disrupsi ini akan membawa suasana yang kurang menguntungkan karena tidak mampu menyesuaikan dengan perubahan lingkungan yang terus bergolak.

Di sisi lain, saat semua harus mengikuti trend pasar ekonomi global dipastikan ruang-ruang kosong budaya akan terbawa arus oleh kepentingan ekonomi yang besar. Apalagi di tengah hegemoni China di pasar global yang akan merambah seluruh wilayah dunia, tak terkecuali negara-negara MABIMS.

Artinya, setiap negara MABIMS harus menyiapkan kemampuan human resources (sumber daya manusia) berkualitas, memiliki komitmen keislaman yang baik dan penguasaan teknologi serta peluang masa depan yang memadai. Selain itu juga dapat dilakukan proteksi melalui seperangkat regulasi yang memungkin dapat menjaga kemandirian ekonomi dan budaya kawasan.

Ketiga, pengaruh perkembangan teknologi informasi yang menjadikan dunia tanpa batas (borderless). Ketiadaan batas ini nyaris membuat para belia (pemuda) tenggelam oleh arus informasi yang membuncah (keberlimpahan informasi). Saat negara-negara MABIMS berusaha keras menjaga kekhasannya, saat yang sama para pemudanya terpengaruh oleh gelombang informasi yang sering tidak menentu oleh info/berita/opini menyesatkan.

Untuk menghadapi ini, faktor yang paling utama, sekali lagi, adalah kemampuan SDM yang memiliki tingkat self-control yang baik. Kehancuran budaya, tradisi, dan nilai-nilai agama akan benar-benar sangat nyata rusaknya jika masing-masing individu tidak memiliki daya pertahanan diri yang baik. Di era disrupsi seperti saat ini tidak ada lembaga atau institusi yang mampu memproteksi individu dari pengaruh internet. Semua itu akan kembali kepada kuakitas diri yang mempuni agar teknologi sebagai media bantu, bukan manusia yang menjadi budak teknologi.

Keempat, ancaman atas kehancuran lingkungan dengan eksploitasi manusia terhadap sumber daya alam. Berlalunya waktu sejak revolusi industri 1.0 menuju era 4.0 sebenarnya belum terlalu lama, namun betapa banyak kerusakan lingkungan yang terjadi di muka bumi ini. Kenapa terjadi? Karena manusia berlebihan dalam memperlakukan terhadap alam dan menganggap alam tidak memiliki jiwa.

Tantangan bagi belia MABIMS adalah bagaimana menyiapkan SDM yang mampu mencerna secara utuh atas konsep huhungan alam dan Tuhan. Belia MABIMS harus memiliki paradigma (basic view) bahwa alam harus diperlakukan dengan baik. Alam adalah makhluk Tuhan yang juga perlu diperlakukan secara adil oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Beberapa tantangan (cabaran) belia MABIMS tersebut harus menjadi perhatian bersama oleh negara-negara MABIMS melalui Kementerian Agama / Ugama / Setiausaha masing-masing agar tetap mampu menjaga kelestarian budaya nusantara yang khas. Jika kita semua sudah tahu, saatnya diimplementasikan dalam kertas kerja yang jelas dan konkrit. Kalau bukan saat ini, lalu kapan lagi?

 

w

 

Thobib Al-Asyhar

Kabag Kerjasama Luar Negeri (KLN)

Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI.

Attachments