Oleh: Thobib Al-Asyhar
Era
revolusi industri 4.0 telah memunculkan kekhawatiran sebagian pihak. Sementara
sebagian yang lain justru menatapnya dengan penuh optimistik. Semua ini
kehidupan yang ditopang oleh kecanggihan teknologi informasi dan terhubung
dengan internet akan memudahkan semua urusan.
Bagi
pihak yang mengkhawatirkannya lebih karena melihat posisi agama sebagai "way
of life". Mereka seperti kurang siap menghadapi perubahan yang sangat
radikal (radic), khususnya menyangkut aspek-aspek keagamaan yang mendasar.
Kita
menyadari bahwa posisi agama memiliki peran strategis dalam kehidupan modern.
Nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi panduan bagi sikap dan perilaku manusia,
dengan kecenderungan manusia yang semakin rasionalistik, positivistik, dan
empiristik memunculkan kekhawatiran tergerusnya posisi agama dalam kehidupan
modern.
Kekhawatiran
ini sebenarnya telah lama ada sejak revolusi industri 1.0 dimana banyak filosof
(ilmuan) yang mengkritik habis posisi dan peran agama. Bagi mereka, agama
dianggap sebagai faktor penghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan sains. Agama
dituduh sebagai pemicu meningkatnya jumlah kaum fatalis dan irrasionalis yang
dapat menganggu obyektifitas ilmu pengetahuan dan sains.
Filosof
beken bernama Friedrich Nietzsche melontarkan kritik pedas terhadap eksistensi
agama dengan ungkapan "God is dead" (Tuhan telah mati). Ini
adalah kritik paling menyakitkan bagi pemeluk agama karena menganggap Tuhan
tidak memiliki fungsi dalam kontribusi hidup manusia.
Demikian
halnya Sigmund Freud, seorang psikolog Jerman pernah menyindir bahwa bukan
Tuhan yang telah menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan
"tuhan-tuhan". Tuhan-tuhan yang dimaksud Freud adalah ilusi-ilusi
manusia, sehingga ia menyebut orang beragama sebagai pengidap neurosis.
Kekhawatiran
dan tuduhan para filosof Barat tersebut ternyata masih terus bergulir hingga
kini seiring dengan kondisi dunia yang semakin terbuka dan modern, dimana
kecanggihan teknologi terus menggeliat dan merangsek ke dalam sudut-sudut
kehidupan. Berkembangnya arus rasionalisme menjadikan posisi agama semakin
terpinggirkan. Apalagi jika agama digunakan oleh sebagian penganutnya untuk
tujuan-tujuan ekstremisme dan klaim-klaim sepihak di tengah komunitas yang
majemuk.
Belakangan
ini ada semacam gerakan atau kecenderungan anak-anak muda (belia) mulai menjauh
dari agama secara formal. Perkembangan teknologi yang semakin modern telah
membuat mereka mengalami kekeringan spiritual. Muncul banyak persoala-persoalan
psikologis, seperti stres, depressi, dan bunuh diri karena tekanan hidup
materialisme dan hedonisme. Akibat dari itu lalu manusia modern kehilangan arah
hidup dan mencoba mencari (searching) The Other (Tuhan) sebagai
sandaran hidup melalui jalan-jalan spiritual yang simpel, efektif, efiesien,
dan cepat.
Namun,
"kembalinya" kesadaran mereka bukan kepada agama-agama dengan segala
perangkatnya, tetapi pada sistem keyakinan kepada Tuhan murni. Mereka merasa
cukup meyakini bahwa Tuhan itu ada, bukan pada agama (religion). Itulah
yang kemudian disebut "agnostisisme".
Kita
semua sadar sedang berada dalam periode zaman ketika popularitas atheisme telah
runtuh bersamaan dengan robohnya komunisme. Pada masa ini paham agnostisisme
menjadi pilihan yang dianggap paling rasional dan sangat diminati kaum modern.
Agnostisisme telah memasuki area gaya
hidup (lifestyle). Orang akan merasa "lebih intelektual" bila
ia mengaku sebagai agnostik. Sementara penganut atheisme sekarang justru
dinilai tidak menarik lagi.
Upaya
Richard Dawkins yang dicap sebagai pemberontak pada kaum atheis pun tak lagi
menarik hati kaum muda. Intinya, mengaku atheis sama ketinggalan zamannya
dengan mengaku marxist. Dari sudut pandang lifestyle kaum milenial, paham
atheisme dinilai a-historis, sudah tidak keren dan relevan lagi.
Apa
sebenarnya yang membuat agnostisisme ini mewabah pada generasi milenial?
Kaum milenial yang memiliki watak instan, cepat, dan kreatif membutuhkan
saluran spiritual yang mengarah pada inti hubungan diri dengan Tuhan. Agama
dengan segala tools-nya dianggap tidak/kurang efektif dan efisien lagi.
Bagi
mereka, meyakini Tuhan dengan nilai-nilai transendensinya bisa menjadikan diri
lebih baik tanpa harus melalui rangkaian ritual yang rumit. Mereka merasa lebih
tenang dan bisa pribadi utuh tanpa terkungkung oleh aturan-aturan formil.
Inilah
kenapa mereka lebih memilih menjadi agnostik tanpa menjadi penganut sebuah
agama. Mereka merasa lebih nyaman saat mampu memiliki budi pekerti yang baik,
memiliki toleransi tinggi, empati kepada sesama, lebih sabar, pemaaf, dan
lain-lain. Mereka lebih berfokus ke dalam diri yang baik tanpa harus berbaju
mentereng bernama agama yang belum memastikan membentuk individu yang baik.
Tantangan
Belia MABIMS
Para
belia (pemuda) yang tinggal di negara-negara MABIMS tentu memiliki tantangan
yang tidak kecil di era ini. Wilayah negara-negara MABIMS yang memiliki
karakteristik khas harus menyiapkan diri dengan baik. Beberapa karakteristik
belia MABIMS yang akan mendapat tantangan besar dapat diuraiakan sebagai
berikut:
Pertama, negara-negara MABIMS
berada pada wilayah serumpun yang memiliki kekhasan budaya, meliputi: Islam,
melayu, dan nusantara. Ketiganya telah terbangun dan bersenyawa bersamaan
dengan sejarah panjang nusantara, dimana Islam-Melayu tersebar melalui proses
dialektika budaya tanpa penaklukan. Sementara nusantara adalah cakupan wilayah
yang memiliki kesamaan tradisi, budaya, dan karakteristik wilayah, sehingga
terdapat ikatan yang sangat kuat.
Namun,
kekhasan tersebut saat ini benar-benar mendapat ancaman serius dari agresi
budaya luar dalam bentuk lifestyle pop, baik Barat maupun Asia, khususnya
budaya Korea, Jepang, dan China. Budaya luar ini sesungguhnya sudah lama
"menyerang" dan kita terus berusaha untuk bertahan. Pertanyaannya,
sampai kapan kita mampu menjaga ini dengan baik? Apalagi lifestyle Jepang,
China dan Korea, selain Barat telah lama menjadi trendsetter di kawasan ini
yang mencoba menguasai "pasar" gaya hidup. Kita bisa lihat
acara-acara TV telah mereka "kuasai" sehingga mempengaruhi kekhasan
budaya MABIMS.
Tentu
para belia (pemuda) MABIMS yang secara geografis berkedudukan di negara-negara
yang berdekatan dengan Korea, Jepang, dan China telah dan akan terus dijadikan
"pasar" lifestyle untuk kemudian dibawa pada ruang kebudayaan mereka
yang lepas dari nilai-nilai budaya nusantara, Islam-melayu. Di sinilah kenapa
para belia MABIMS harus terus meningkatkan konsolidasi budaya, menjalin
kerjasama bidang-bidang keagamaan dan pendidikan agar kekhasannya dapat
dilestarikan dan dikembangkan.
Kedua, dari sisi letak geografis
dan cakupan pasar ekonomi, wilayah negara-negara MABIMS sangat potensial dengan
agresi pasar ekonomi bebas. Apalagi saat ini negara-negara ASEAN sendiri telah
menerapkan perdagangan bebas dan bebas visa kunjungan, yang artinya dalam
jangka waktu tertentu negara-negara MABIMS tidak memiliki benteng pertahanan
budaya atas pengaruh kepentingan ekonomi.
Agresifitas
ekonomi kawasan telah menjadikan negara-negara MABIMS berada pada posisi juru
kunci. Jika bertahan dengan pola pendekatan tradisional nusantara, maka di era
disrupsi ini akan membawa suasana yang kurang menguntungkan karena tidak mampu
menyesuaikan dengan perubahan lingkungan yang terus bergolak.
Di
sisi lain, saat semua harus mengikuti trend pasar ekonomi global dipastikan
ruang-ruang kosong budaya akan terbawa arus oleh kepentingan ekonomi yang
besar. Apalagi di tengah hegemoni China di pasar global yang akan merambah
seluruh wilayah dunia, tak terkecuali negara-negara MABIMS.
Artinya,
setiap negara MABIMS harus menyiapkan kemampuan human resources (sumber
daya manusia) berkualitas, memiliki komitmen keislaman yang baik
dan penguasaan teknologi serta peluang masa depan yang memadai. Selain itu juga
dapat dilakukan proteksi melalui seperangkat regulasi yang memungkin dapat
menjaga kemandirian ekonomi dan budaya kawasan.
Ketiga, pengaruh perkembangan
teknologi informasi yang menjadikan dunia tanpa batas (borderless). Ketiadaan
batas ini nyaris membuat para belia (pemuda) tenggelam oleh arus informasi yang
membuncah (keberlimpahan informasi). Saat negara-negara MABIMS berusaha keras
menjaga kekhasannya, saat yang sama para pemudanya terpengaruh oleh gelombang
informasi yang sering tidak menentu oleh info/berita/opini menyesatkan.
Untuk
menghadapi ini, faktor yang paling utama, sekali lagi, adalah kemampuan SDM
yang memiliki tingkat self-control yang baik. Kehancuran budaya,
tradisi, dan nilai-nilai agama akan benar-benar sangat nyata rusaknya jika
masing-masing individu tidak memiliki daya pertahanan diri yang baik. Di era
disrupsi seperti saat ini tidak ada lembaga atau institusi yang mampu
memproteksi individu dari pengaruh internet. Semua itu akan kembali kepada
kuakitas diri yang mempuni agar teknologi sebagai media bantu, bukan manusia
yang menjadi budak teknologi.
Keempat, ancaman atas kehancuran
lingkungan dengan eksploitasi manusia terhadap sumber daya alam. Berlalunya
waktu sejak revolusi industri 1.0 menuju era 4.0 sebenarnya belum terlalu lama,
namun betapa banyak kerusakan lingkungan yang terjadi di muka bumi ini. Kenapa
terjadi? Karena manusia berlebihan dalam memperlakukan terhadap alam dan
menganggap alam tidak memiliki jiwa.
Tantangan
bagi belia MABIMS adalah bagaimana menyiapkan SDM yang mampu mencerna secara
utuh atas konsep huhungan alam dan Tuhan. Belia MABIMS harus memiliki paradigma
(basic view) bahwa alam harus diperlakukan dengan baik. Alam adalah
makhluk Tuhan yang juga perlu diperlakukan secara adil oleh manusia sebagai
khalifah di muka bumi.
Beberapa
tantangan (cabaran) belia MABIMS tersebut harus menjadi perhatian bersama oleh
negara-negara MABIMS melalui Kementerian Agama / Ugama / Setiausaha
masing-masing agar tetap mampu menjaga kelestarian budaya nusantara yang khas.
Jika kita semua sudah tahu, saatnya diimplementasikan dalam kertas kerja yang
jelas dan konkrit. Kalau bukan saat ini, lalu kapan lagi?
w
Thobib Al-Asyhar
Kabag Kerjasama Luar Negeri (KLN)
Sekretariat Jenderal Kementerian
Agama RI.